Berhala Neoliberalisme
Oleh: Rusmin Effendy
BELAKANGAN ini, kata neoliberalisme atau neolib mampu mengalahkan populeritas Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai incumbent yang maju dalam pertarungan Pilpres 8 Juli mendatang. Majunya SBY yang berduet bersama Boediono semula sempat mengejutkan banyak kalangan, khususnya empat partai tengah (PKB, PKS, PAN dan PPP) yang menjalin mitra koalisi bersama Partai Demokrat.
Bagi SBY, memilih Boediono tentunya bukan tanpa alasan dan asal pilih ketimbang memilih cawapres dari parpol, meski pilihan itu telah melukai parpol yang tergabung dalam mitra koalisi. Belakangan, SBY mungkin saja sadar ternyata pilihannya itu justru menimbulkan kontroversial karena sosok Boediono bukanlah figur yang relatif tak memiliki resistensi politik ketimbang cawapres dari kalangan parpol.
Sebagai ekonomi yang mengawali karir sebagai menkeu di era pemerintahan Megawati Soekarnoputri, Boediono telah terjebak menjadi birokrat bertangan dingin dan sangat bersahaja. Semula banyak kalangan meragukan kepiawaian Boediono untuk menguasai berbagai persoalan bangsa, khususnya memahami dinamika politik praksis. Meskipun pada akhirnya Boediono memilih begawan media Goenawan Muhammad (GM) sebagai konsultan untuk melakukan pencitraan di media. Keterlibat GM ini sekeligus mempertegas masuknya kubu sosialis dalam tim kampanye pasangan SBY Boediono.
Terlepas dari spekulasi itu, duet SBY-Boediono sesungguhnya bukanlah pasangan yang tangguh sebagaimana yang diperkirakan meski popularitas dan elektabilitas SBY secara personal mampu mengalahkan pasangan capres lainnya. Sedangkan elektabilitas pasangan JK-Wiranto meski perlahan dan pasti mulai memgimbangi, ketimbangan pasangan Mega-Prabowo yang terkesan kurang agresif bermain opini di media massa.
Fenomena menarik lainya adalah ketiga pasangan capres yang sedang bertarung di gelangang pilpres ini, sama-sama melancarkan politik apologistik dan saling klaim bahwa mereka adalah para pejuang pembela rakyat kecil dan mengusung jargon platform ekonomi kerakyatan, bukan kelompok neolib. Sedangkan yang membedakan visi dan misi serta cara penyampaian dengan style yang berbeda-beda. Selama sepekan ini, publik juga menyaksikan betapa media massa terjebak perang opini antar tim sukses sekaligus klarifikasi perdebatan antara neolib versus ekonomi kerakyatan.
Bagi kalangan awam dan rakyat kecil tentu saja tidak mengerti apa yang sedang diributkan para elite politik menjelang pilpres sekarang ini. Apakah pergunjingan neolib itu sejenis makanan ataukah pemerintah kembali akan memberikan sedekah berupa BLT (bantuan langsung tunai) atau sedang membincangkan rencana kenaikan gaji yang akan dirapel pada Juni mendatang. Yang lebih menyedihkan lagi, ketiga pasangan capres/cawapres yang khabarnya sudah merekrut para ekonom terkemuka, justru sibuk dengan perang opini dan menjelaskan bahwa capres di A, B, dan C bukanlah antek neolib yang kerjanya hanya menjual asset bangsa melalui program privatisasi BUMN kepada asing, menambah anggaran utang luar negeri melalui lembaga donor seperti IMF, ADB dan Bank Dunia.
Salah Penafsiran
Paham neoliberalisme yang saat ini menjadi trend sebenarnya adalah bentuk baru dari paham ekonomi pasar liberal. Sebagai salah satu varian dari kapitalisme yang terdiri dari merkantilisme, liberalisme, keynesianisme, neoliberalisme dan neokeynesianisme, neoliberalisme adalah sebuah upaya untuk mengoreksi kelemahan yang terdapat dalam sistim liberalisme.
Dalam beberapa literature, masalah neolib pada awalnya adalah nama yang dipakai oleh para pejuang demokrasi di Amerika Latin untuk menggambarkan watak idiologis kolusi antara rezim kediktatoran dan ekonomi pasar bebas dalam coraknya yang ekstrem. Kebijakan ekonomi-politik rezim Pinochet di Chile (1973-1990) menjadi model par excellence yang dimaksudkan para pejuang. Ketika rezim Pinochet jatuh, istilah neoliberalisme tetap dipakai untuk menunjukan kinerja ekonomi pasar bebas dalam coraknya yang lebih ekstrem, meski pun di Chile sendiri tak lagi memakai istilah ekonomi pasar bebas (free market economy).
Paham ekonomi pasar liberal ini justru diyakini memiliki kemampuan mengurus dirinya sendiri tanpa adanya intervensi dari negara dalam mengurus perekonomian. Padahal, pengalaman di banyak negara khususnya awal terjadinya krisis ekonomi sekitar 1930-an, perekonomian dunia terjerumus depresi secara massif. Saat itu, kepercayaan terhadap paham ekonomi pasar liberal menjadi sorotan karena dianggap tidak mampu mengurus dirinya sendiri, tetapi dapat menjadi sumber malapetaka bagi kemanusiaan.
Menyadari kelemahan ekonomi pasar liberal tersebut, pada September 1932, sejumlah ekonom Jerman yang dimotori oleh Rustow dan Eucken mengusulkan dilakukannya perbaikan terhadap paham ekonomi pasar, yaitu dengan memperkuat peranan negara regulator dan pembuat kebijakan. Dalam perjalanannya, paham ekonom neoliberal mulai tersisih oleh paham negara kesejahteraan yang digagas John Maynard Keynes.
Bagi negara-negara yang pernah melaksanakan paham neoliberalisme seperti di Amerika Latin justru mengalami kemakmuran yang lebih baik, sedangkan di Indonesia sejak awal kebangkitan Orde Baru pada 1968 hingga saat ini tetap menjadi bangsa gembel dan tak mampu mendongkrak pilar ekonomi nasional. Kondisi itu memang sangat memprihatinkan karena sebagian elite politik yang sedang berkuasa memang sudah terlena mendapatkan kompensasi dari kebijakan neolib, khususnya ketergantungan utang luar negeri.
Di Indonesia, memang terjadi salah kaprah dalam memaknai istilah neoliberalisme, karena yang dipertentangan adalah dua mazhab sistim ekonomi antara kerakyatan dan neoliberalisme yang menganut rezim pasar bebas. Kondisi itulah yang mungkin tidak dipahami banyak orang, termasuk ekonom yang menjadi tim sukses capres/cawapres. Meminjam istilah mantan menko perekonomian Rizal Ramli, pengerti sederhana neoliberalisme adalah sistim pasar yang ugal-ugalan yang ciri khasnya terlibat dari kebijakan negara yang sepenuhnya tergantung pada utang luar negeri. Pinjaman luar negeri itu menjadi pintu masuk neoliberalisme karena pemerintah tak mampu menghadapi intervensi asing dalam pelbagai kebijakan dan pembuatan RUU yang diijon melalui garansi utang luar negeri.
Karena itu, dapatlah dipahami para ekonom yang menjadi tim sukses sekarang ini bekerja ekstra keras menjelaskan tentang platform ekonomi kerakyatan dengan mengedepankan semboyan pro poor, pro job and pro growth (pengentasan kemiskinan, memperluas kesempatan kerja serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi).
Tidaklah berlebihan bila filsuf eksistensialis Friederich Wilhem Nietzsche mengilustrasilakan kekuasaan sebagai sesuatu yang sangat nikmat dan memabukkan. Bagi mereka yang haus kekuasaan akan menghalalkan segala cara untuk meraih simpatik agar mendapat dukungan publik, termasuk mendapatkan kekuasaan dengan cara amoral ala Machiavellian. Akibatnya, masing-masing tim sukses melancarkan strategi black campaign atau melakukan politik pencitraan terhadap prestasi dan kinerja masing-masing.
Bagi pasar financial, SBY Berbudi mungkin paling ideal, sedangkan untuk pelaku pasar, JK-Win barangkali yang paling menjanjikan terobosan kebijakan bagi persoalan sektor riil, sedangkan pasangan Mega-Pro bisa saja dianggap kurang menjual karena iklan BLT pada pileg kemarin justru merusak pencitraan partai yang diklaim sebagai partai wong cilik. Padahal, ada yang tidak sinkron antara program dan janji kampanye dan delivery setelah mereka berkuasa. Kebijakan pro-rakyat cenderung hanya menjadi jargon politik yang dilupakan begitu pilpres berakhir. Tidak ada sanksi bagi pemimpin yang tak mampu mewujudkan komitmen kampanyenya.
Sedangkan prestasi dan kinerja pemerintahan SBY-JK selama hampir lima tahun ini sebenarnya nyaris tanpa melahirkan prestasi apapun. Keberpihakan pemerintahan SBY terhadap arus modal besar begitu terasa mulai dari politik alokasi kredit, kebijakan liberalisasi perdagangan melalui penurunan tarif dan pembebasan impor serta kebijakan politik alokasi anggaran, termasuk kebijakan stimulus fiskal dan sebagainya. Ini merupakan contoh konkrit yang bisa dirasakan apakah kebijakan SBY selama hampir lima tahun ini menjadi berhala dan kepanjangan tangan neolib atau pro-rakyat.
Untuk memberikan pembatas yang jelas apakah kebijakan negara adalah copy paste dari paham neoliberalisme sebenarnya dapat dilihat dari kebijakan ekonomi nasional yang mengutamakan sistem kapitalis perdagangan bebas, melakukan ekspansi pasar, program privatisasi/penjualan asset BUMN, deregulasi dan menghilangkan campur tangan pemerintah, pengurangan peran negara dalam layanan sosial (public service) seperti liberalisasi pendidikan (UU BHP), kesehatan, dan sebagainya.
Dengan begitu dapat dipahami bila Indonesia mengadopsi sistim ekonomi neoliberalisme, dapat dipastikan negara hanya bertindak sebagai “regulator” dan memberikan stimulus sebagai dewa penyelamat bagi perusahaan swasta yang bangkrut atau diambang kebangkrutan. Misalnya, pemerintah AS harus mengeluarkan stimulus sebesar US$ 800 miliar atau sekitar Rp 9.600 triliun sementara Indonesia pada krisis monter 1998 mengeluarkan dana KLBI sebesar Rp 144 triliun dan BLBI senilai Rp 600 triliun, melebihi anggaran APBN saat itu. Akibatnya, seluruh rakyat Indonesia harus menanggu utang sekaligus menutup subsidi pembayaran bunga melalui APBN. Sangat ironis memang.
Menghadapi pilpres pada 8 Juli mendatang, rakyat harus benar-benar cerdas memilih pemimpin yang bisa diharapkan melakukan perubahan bagi bangsa lima tahun kedepan. Jika tidak, bukan tidak mungkin kita akan mundur kembali atau setback lima tahun kebelakang dan Indonesia tidak akan pernah menjadi bangsa besar yang dihargai dunia internasional, kecuali tetap menjadi berhala-berhala sekaligus antek imperialisme dan kapitalisme. Mudah-mudahan saja tidak. ****
Rabu, 10 Juni 2009
Langganan:
Postingan (Atom)