Sabtu, 12 Februari 2011

The Untouchables KPK

The Untouchables KPK

Rusmin Effendy, SH.*)

TAJUK Rencana dengan judul; “DPR Mewakili Siapa?” (Kompas, 2 Februari 2011) menjadi pilihan kata yang seksi dari segi jurnalistik di tengah kontroversi penahanan para mantan anggota DPR RI periode 1999-2004 dengan tuduhan menerima suap traveller’s cheque (cek perjalanan) dalam pemilihan DGS BI Miranda S Goeltom. Penahanan yang dilakukan secara paksa oleh KPK tersebut tentu saja mengundang kontraproduktif, bahkan memicu reaksi dan perlawanan dari fraksi-fraksi di DPR seperti terlihat dalam rapat kerja Komisi III DPR.

Serangan balik dan soliditas para politisi Senayan menolak kehadiran Wakil Ketua KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah tersebut juga mendapat kecaman dari berbagai kalangan, padahal alasan DPR mempersoalkan keabsahan status Bibit-Chandra setelah mendapatkan kado deponeering sesuatu yang wajar saja. Tidak hanya itu, serangan balik DPR juga dilanjutkan dukungan delapan fraksi dalam pengajuan Hak Angket Perpajakan yang ditandatangani 114 anggota DPR minus FPD.

Terlepas persoalan tersebut, perseteruan antara KPK versus DPR ini sepantasnya tidak perlu terjadi, karena masing-masing lembaga terkesan masih mempertahankan arogansi sektoral. Namun, bila dicermati gebrakan yang dilakukan KPK melakukan penahanan secara berjamaah para mantan politisi Senayan itu memang tak bisa dinafikan ada implikasi politik yang luar biasa. Pertama, menyangkut konstruksi hukum yang ditetapkan KPK sebagai landasan hukum menjerat tersangka yang diduga menerima suap dengan Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b serta Pasal 11 UU No.31/1999 sebagaimana telah diubah menjadi UU No.20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) KUHP. Penerapan pasal tersebut sangat sumir karena jika deliknya penyuapan , idealnya KPK harus menghadirkan tersangka yang telah melakukan penyuapan. Persoalannya, kenapa sudah hampir tiga tahun KPK tak mampu menghadirkan pemberi suap.

Kedua, ada kesan KPK telah melakukan kriminalisasi dan politisasi kasus DGS BI karena penahanan yang dilakukan untuk memenuhi SOP (standard operating procedure) KPK yang selama ini sudah terbukti pilih tebang berdasarkan pesanan pihak tertentu atau impossible hand. Tujuannya, bukan sekedar mempolitisasi kasus, tapi juga pembunuhan karakter (character assassination) mereka yang ditahan, dalam konteks kasus DGS BI yang menjadi obyeknya adalah parpol-parpol yang tergabung dalam barisan pendukung koalisi maupun oposisi (PDIP).

Ketiga, kinerja KPK selama ini sering kali bersikap double standard, bahkan melampaui batas kewenangan untuk mengadili seseorang diluar pengadilan, padahal kredibilitas KPK sendiri seringkali tidak berdaya menyentuh pihak-pihak yang diduga keras terkait langsung dengan kasus tersebut. Padahal, sudah ada beberapa nama seperti Nunun Nurbaeti Daradjatun dan Arie Malangjudo, termasuk menetapkan status Miranda Goeltom sebagai tersangka. Kegagalan KPK menyentuh orang-orang yang untouchables justru merusak kredibilitas KPK sendiri, karena dalam konteks hukum antara penyuap dan penerima suap pastilah memiliki causalitas (sebab akibat) yang sangat erat hubungannya atau mencari simbiosis mutualisme antara pihak-pihak yang saling menguntungkan.

Mencermati fenomena dan sepak terjang kinerja yang dilakukan KPK selama ini, rasanya sangat bijak bila kasus DGS BI ini ditempatkan dalam konteks hukum secara proporsional, sehingga tidak terkesan kasus ini menjadi bagian dari konspirasi politik yang dilakukan pihak-pihak tertentu dengan cara mempolitisasi situasi yang ada untuk membungkam parpol tertentu.

------------

*). Penulis Tenaga Ahli DPR RI. Tulisan ini opini pribadi.

Paling tidak, KPK sebagai lembaga independen tidak dijadikan alat politik pemerintah atau hanya sekedar peniup kebakaran untuk mengkriminalisasi lawan-lawan politik yang ada, seperti yang dilakukan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (PMH) yang sudah terbukti melakukan politisasi dalam kasus Gayus Tambunan. Ironis memang.

Diakui atau tidak, testimoni tersangka mafia pajak Gayus Tambunan di pengadilan beberapa waktu lalu menjadi kotak pandora untuk membongkar tabir kebobrokan penegakan hukum, apalagi dilakukan oleh institusi resmi dibawah pemerintah. Jadi, bukan tidak mungkin kriminalisasi hukum yang dilakukan lembaga seperti PMH atau KPK hanya menjadi bagian dari kekuasaan. Seperti yang dialami mantan Ketua KPK Antasari Azhar dengan berbagai konspirasi politik mulai dari isu perselingkuhan, penyuapan sampai pembunuhan adalah skenario yang sengaja diciptakan pemerintah. Karena, ada dua dosa besar yang dilakukan Antasari saat menjabat sebagai Ketua KPK, yakni rencana membongkar dugaan korupsi, manipulasi serta rekayasa kasus daftar pemilih tetap (DPT) yang sangat luar biasa sekaligus menghantarkan salah satu pasangan pemenang Pilpres 2009 lalu, termasuk rencana membongkar skandal Centurygate yang melibatkan pihak-pihak yang sangat untouchables. Buktinya, sampai sekarang KPK seringkali berdalih dan tidak mampu mengusut penyalahgunaan skandal Century dan membuka kotak pandora korupsi KPU.

Mirandagate

Sejak KPK melakukan penahanan tersangka suap skandal Mirandagate, secara spontanitas terjadi konsolidasi politik antar sesama parpol pendukung koalisi pemerintah seperti Golkar, PKS, Hanura, dan PPP di Senayan untuk melakukan serangan balik, baik melalui pengajuan Hak Angket Perpajakan sampai rencana menghidupkan kembali Tim Pengawas skandal Bank Century yang sengaja dijadikan sandera politik oleh DPR. Bahkan khabar terakhir berkembang bahwa Miranda Goeltom justru memiliki kartu truf skandal Century seperti yang disampaikan Sekjen PDIP Tjahjo Kumolo.

Sekiranya sinyalemen itu benar, wajar saja bila KPK menjadi impoten dan tidak berdaya menetapkan Miranda Goeltom sebagai tersangka atau menjadi untouchables. Jika sampai Miranda Goeltom ditetapkan sebagai tersangka bukan tidak mungkin dirinya akan mengikuti jejak Gayus Tambunan untuk memberikan testimoni soal keterlibatan pejabat tinggi negara dalam skandal Century yang bukti-bukti pelanggaran dan penyalahgunaan wewenang sudah cukup terang bendera. Bahkan, pernyataan Presiden SBY saat memberikan pernyataan pers dan memerintahkan aparat penegak hukum untuk mengusut skandal Century hingga tuntas justru menambah daftar dosa kebohongan. Karena, instruksi tersebut sama sekali tidak terbukti bahwa pemerintah sendiri yang keukeh menutup-nutupi kasus tersebut, termasuk melakukan pembiaran politik dan melepaskan mantan Menkeu Sri Mulyani menjadi Managing Director World Bank. Terakhir pernyataan politisi senior Golkar Fahmi Idris yang memberikan testimoni soal keberadaan Nunun Nurbaeti Daradjatun yang keberadaannya sudah menetap di Thailand terhitung sejak 16 Mei 2010 lalu.

Lagi-lagi, kondisi ini membuktikan kepada publik bahwa KPK bukanlah satu-satunya lembaga independen seperti yang diharapkan dan mampu membongkar skandal mega korupsi. Bahkan, sejak KPK terbentuk pada 2004 lalu hingga hari ini antara prestasi dan kinerja sangat jauh dari harapan karena selama Semester I 2010 hanya ditemukan 176 kasus yang terjadi di pusat dan daerah, sedangkan pelaku korupsi sebanyak 441 orang dengan kerugian Negara sebesar Rp 2,1 triliun. Dari jumlah itu, KPK hanya mampu menyelamatkan uang negara sebesar Rp 175,9 miliar, sementara biaya operasional sebesar Rp 265 miliar.

Karena itu, dapatlah dipahami bahwa skandal Mirandagate ini dipastikan memiliki dampak politis yang sangat luas, karena bukan menjadi rahasia umum lagi setiap kali dilakukan fit and proper test di DPR pastilah memiliki nuansa politis yang sangat kental. Apalagi publik juga memahami Miranda Goeltom miliki hubungan emosional dengan PDIP. Sekiranya KPK benar-benar murni mengedepankan prinsip hukum dan menjujung tinggi asas persamaan dihadapan hukum atau equality before the law, seharusnya semua anggota komisi saat itu harus dijadikan sebagai tersangka tanpa terkecuali. Logikanya, jika memang ada aliran dana saat fit and proper test, pastilah semua anggota komisi mendapatkan bagiannya masing-masing.

Politisasi Hukum

Terbongkarnya skandal suap traveller’s cheque pemilihan DGS BI Miranda Goeltom pertama kali dikemukakan mantan anggota FPDIP Agus Condro Prayitno yang mengaku menerima 10 lembar cek perjalanan senilai Rp 500 juta pada pertengahan 2008 lalu. Secara implisit, testimoni Agus Condro membuka aib partainya yang bermain dalam pemilihan DGS BI tersebut.

Akibatnya empat politisi partai seperti Dudhie Makmun Murod (PDIP), Udju Juhaeri (TNI/Polri), Endin AJ Soefihara (PPP), dan Hamka Yandhu (Golkar) sudah lebih dulu menikmati vonis pengadilan Tipikor karena terbukti menerima cek perjalanan bersama dengan rekan-rekannya di fraksinya masing-masing. Persoalannya, setelah KPK berhasil menetapkan tersangka, kenapa masih ada babak kedua untuk mengkriminalisasi 26 anggota DPR lainnya. Padahal, saat fit and proper test pemilihan DGS tersebut terdapat 41 orang anggota yang hadir dari 53 jumlah anggota komisi. Apalagi dalam persidangan Tipikor majelis hakim saat itu memutuskan uang yang diterima empat politisi partai berasal dari Komisaris PT Wahana Esa Sejati, Nunun Nurbaeti Daradjatun. Persoalan kemudian, kenapa sampai saat ini KPK tidak berhasil menghadirkan Nunun Nurbaeti dalam pengadilan Tipikor. Karena itu, sangatlah aneh dan jika yang memberikan suap yang nyata-nyata sudah terbukti di pengadilan justru tidak tersentuh, sedangkan yang menerima suap justru mendapatkan ganjarannya.

Karena itu, dapatlah dipahami penahanan para politisi parpol yang dilakukan KPK tak lepas dari politisasi hukum yang dilakukan pemerintah, setelah gagalnya Satgas PMH melakukan politisasi terhadap kasus Gayus Tambunan yang dijadikan pintu masuk untuk menyeret politisi parpol, termasuk Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie sebagai korbannya. Sebab, testimoni Gayus Tambunan secara terang benderang membuktikan keterlibatan Satgas PMH dalam konspirasi tersebut, meski pada akhirnya yang sangat disayangkan justru Presiden SBY mem-back-up keberadaan Satgas PMH. Secara politis, dukungan dan pembelaan Presiden SBY sekaligus sebagai justifikasi politisasi yang dilakukan pastilah dilakukan atas sepengetahuan presiden.

Apalagi gebyar-gebyar Presiden SBY yang berjanji akan memimpin sendiri pemberantasan korupsi sebagai ikon tak lebih hanya sekedar retorika pencitraan untuk mendapatkan simpatik publik. Tampaknya, politik pencitraan ini sudah harus berakhir apalagi setelah tokoh lintas agama mempersoalkan kebohongan yang dilakukan pemerintah, karena pemerintah yak mampu merealisasikan janji-janji politiknya. Artinya, pemerintahan SBY-Boediono memang sudah gagal menegakkan supremasi hukum sebagai panglima, bahkan hukum hanya dijadikan alat kekuasan untuk menghabisi lawan-lawan politik yang dianggap berseberanagan dengan kebijakan pemerintah. Meskipun bukan rahasia umum lagi keberadaan lembaga penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan dan KPK telah menjadi serigala dan menjadi stigma negatif masyarakat soal penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.

Dengan demikian, dapatlah dipahami penahanan terhadap politisi parpol haruslah menjadi pembelajaran semua elite parpol untuk berhati-hati dalam memilih mitra koalisi yang bisa menjadi senjata makan tuan, apalagi kehadiran KPK sebagai lembaga independen belum sepenuhnya bisa diharapkan karena sampai saat ini masih menjadi alat kekuasaan. Kondisi ini sekaligus memberikan gambaran bahwa bangsa ini masih sulit untuk menyikap tabir kebobrokan para penegakan hukum. Kiranya, semua pihak harus tetap mewaspadai dan tidak terjebak keinginan semu dan menjadikan pemberantasan korupsi hanya sebagai jargon atau ikon mencari populeritas dan simpatik publik.*** Wallahu a’lam bish-shawab.

Rabu, 10 Juni 2009

BERHALA NEOLIBERALISME

Berhala Neoliberalisme

Oleh: Rusmin Effendy

BELAKANGAN ini, kata neoliberalisme atau neolib mampu mengalahkan populeritas Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai incumbent yang maju dalam pertarungan Pilpres 8 Juli mendatang. Majunya SBY yang berduet bersama Boediono semula sempat mengejutkan banyak kalangan, khususnya empat partai tengah (PKB, PKS, PAN dan PPP) yang menjalin mitra koalisi bersama Partai Demokrat.
Bagi SBY, memilih Boediono tentunya bukan tanpa alasan dan asal pilih ketimbang memilih cawapres dari parpol, meski pilihan itu telah melukai parpol yang tergabung dalam mitra koalisi. Belakangan, SBY mungkin saja sadar ternyata pilihannya itu justru menimbulkan kontroversial karena sosok Boediono bukanlah figur yang relatif tak memiliki resistensi politik ketimbang cawapres dari kalangan parpol.
Sebagai ekonomi yang mengawali karir sebagai menkeu di era pemerintahan Megawati Soekarnoputri, Boediono telah terjebak menjadi birokrat bertangan dingin dan sangat bersahaja. Semula banyak kalangan meragukan kepiawaian Boediono untuk menguasai berbagai persoalan bangsa, khususnya memahami dinamika politik praksis. Meskipun pada akhirnya Boediono memilih begawan media Goenawan Muhammad (GM) sebagai konsultan untuk melakukan pencitraan di media. Keterlibat GM ini sekeligus mempertegas masuknya kubu sosialis dalam tim kampanye pasangan SBY Boediono.
Terlepas dari spekulasi itu, duet SBY-Boediono sesungguhnya bukanlah pasangan yang tangguh sebagaimana yang diperkirakan meski popularitas dan elektabilitas SBY secara personal mampu mengalahkan pasangan capres lainnya. Sedangkan elektabilitas pasangan JK-Wiranto meski perlahan dan pasti mulai memgimbangi, ketimbangan pasangan Mega-Prabowo yang terkesan kurang agresif bermain opini di media massa.
Fenomena menarik lainya adalah ketiga pasangan capres yang sedang bertarung di gelangang pilpres ini, sama-sama melancarkan politik apologistik dan saling klaim bahwa mereka adalah para pejuang pembela rakyat kecil dan mengusung jargon platform ekonomi kerakyatan, bukan kelompok neolib. Sedangkan yang membedakan visi dan misi serta cara penyampaian dengan style yang berbeda-beda. Selama sepekan ini, publik juga menyaksikan betapa media massa terjebak perang opini antar tim sukses sekaligus klarifikasi perdebatan antara neolib versus ekonomi kerakyatan.
Bagi kalangan awam dan rakyat kecil tentu saja tidak mengerti apa yang sedang diributkan para elite politik menjelang pilpres sekarang ini. Apakah pergunjingan neolib itu sejenis makanan ataukah pemerintah kembali akan memberikan sedekah berupa BLT (bantuan langsung tunai) atau sedang membincangkan rencana kenaikan gaji yang akan dirapel pada Juni mendatang. Yang lebih menyedihkan lagi, ketiga pasangan capres/cawapres yang khabarnya sudah merekrut para ekonom terkemuka, justru sibuk dengan perang opini dan menjelaskan bahwa capres di A, B, dan C bukanlah antek neolib yang kerjanya hanya menjual asset bangsa melalui program privatisasi BUMN kepada asing, menambah anggaran utang luar negeri melalui lembaga donor seperti IMF, ADB dan Bank Dunia.

Salah Penafsiran
Paham neoliberalisme yang saat ini menjadi trend sebenarnya adalah bentuk baru dari paham ekonomi pasar liberal. Sebagai salah satu varian dari kapitalisme yang terdiri dari merkantilisme, liberalisme, keynesianisme, neoliberalisme dan neokeynesianisme, neoliberalisme adalah sebuah upaya untuk mengoreksi kelemahan yang terdapat dalam sistim liberalisme.
Dalam beberapa literature, masalah neolib pada awalnya adalah nama yang dipakai oleh para pejuang demokrasi di Amerika Latin untuk menggambarkan watak idiologis kolusi antara rezim kediktatoran dan ekonomi pasar bebas dalam coraknya yang ekstrem. Kebijakan ekonomi-politik rezim Pinochet di Chile (1973-1990) menjadi model par excellence yang dimaksudkan para pejuang. Ketika rezim Pinochet jatuh, istilah neoliberalisme tetap dipakai untuk menunjukan kinerja ekonomi pasar bebas dalam coraknya yang lebih ekstrem, meski pun di Chile sendiri tak lagi memakai istilah ekonomi pasar bebas (free market economy).
Paham ekonomi pasar liberal ini justru diyakini memiliki kemampuan mengurus dirinya sendiri tanpa adanya intervensi dari negara dalam mengurus perekonomian. Padahal, pengalaman di banyak negara khususnya awal terjadinya krisis ekonomi sekitar 1930-an, perekonomian dunia terjerumus depresi secara massif. Saat itu, kepercayaan terhadap paham ekonomi pasar liberal menjadi sorotan karena dianggap tidak mampu mengurus dirinya sendiri, tetapi dapat menjadi sumber malapetaka bagi kemanusiaan.
Menyadari kelemahan ekonomi pasar liberal tersebut, pada September 1932, sejumlah ekonom Jerman yang dimotori oleh Rustow dan Eucken mengusulkan dilakukannya perbaikan terhadap paham ekonomi pasar, yaitu dengan memperkuat peranan negara regulator dan pembuat kebijakan. Dalam perjalanannya, paham ekonom neoliberal mulai tersisih oleh paham negara kesejahteraan yang digagas John Maynard Keynes.
Bagi negara-negara yang pernah melaksanakan paham neoliberalisme seperti di Amerika Latin justru mengalami kemakmuran yang lebih baik, sedangkan di Indonesia sejak awal kebangkitan Orde Baru pada 1968 hingga saat ini tetap menjadi bangsa gembel dan tak mampu mendongkrak pilar ekonomi nasional. Kondisi itu memang sangat memprihatinkan karena sebagian elite politik yang sedang berkuasa memang sudah terlena mendapatkan kompensasi dari kebijakan neolib, khususnya ketergantungan utang luar negeri.
Di Indonesia, memang terjadi salah kaprah dalam memaknai istilah neoliberalisme, karena yang dipertentangan adalah dua mazhab sistim ekonomi antara kerakyatan dan neoliberalisme yang menganut rezim pasar bebas. Kondisi itulah yang mungkin tidak dipahami banyak orang, termasuk ekonom yang menjadi tim sukses capres/cawapres. Meminjam istilah mantan menko perekonomian Rizal Ramli, pengerti sederhana neoliberalisme adalah sistim pasar yang ugal-ugalan yang ciri khasnya terlibat dari kebijakan negara yang sepenuhnya tergantung pada utang luar negeri. Pinjaman luar negeri itu menjadi pintu masuk neoliberalisme karena pemerintah tak mampu menghadapi intervensi asing dalam pelbagai kebijakan dan pembuatan RUU yang diijon melalui garansi utang luar negeri.
Karena itu, dapatlah dipahami para ekonom yang menjadi tim sukses sekarang ini bekerja ekstra keras menjelaskan tentang platform ekonomi kerakyatan dengan mengedepankan semboyan pro poor, pro job and pro growth (pengentasan kemiskinan, memperluas kesempatan kerja serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi).
Tidaklah berlebihan bila filsuf eksistensialis Friederich Wilhem Nietzsche mengilustrasilakan kekuasaan sebagai sesuatu yang sangat nikmat dan memabukkan. Bagi mereka yang haus kekuasaan akan menghalalkan segala cara untuk meraih simpatik agar mendapat dukungan publik, termasuk mendapatkan kekuasaan dengan cara amoral ala Machiavellian. Akibatnya, masing-masing tim sukses melancarkan strategi black campaign atau melakukan politik pencitraan terhadap prestasi dan kinerja masing-masing.
Bagi pasar financial, SBY Berbudi mungkin paling ideal, sedangkan untuk pelaku pasar, JK-Win barangkali yang paling menjanjikan terobosan kebijakan bagi persoalan sektor riil, sedangkan pasangan Mega-Pro bisa saja dianggap kurang menjual karena iklan BLT pada pileg kemarin justru merusak pencitraan partai yang diklaim sebagai partai wong cilik. Padahal, ada yang tidak sinkron antara program dan janji kampanye dan delivery setelah mereka berkuasa. Kebijakan pro-rakyat cenderung hanya menjadi jargon politik yang dilupakan begitu pilpres berakhir. Tidak ada sanksi bagi pemimpin yang tak mampu mewujudkan komitmen kampanyenya.
Sedangkan prestasi dan kinerja pemerintahan SBY-JK selama hampir lima tahun ini sebenarnya nyaris tanpa melahirkan prestasi apapun. Keberpihakan pemerintahan SBY terhadap arus modal besar begitu terasa mulai dari politik alokasi kredit, kebijakan liberalisasi perdagangan melalui penurunan tarif dan pembebasan impor serta kebijakan politik alokasi anggaran, termasuk kebijakan stimulus fiskal dan sebagainya. Ini merupakan contoh konkrit yang bisa dirasakan apakah kebijakan SBY selama hampir lima tahun ini menjadi berhala dan kepanjangan tangan neolib atau pro-rakyat.
Untuk memberikan pembatas yang jelas apakah kebijakan negara adalah copy paste dari paham neoliberalisme sebenarnya dapat dilihat dari kebijakan ekonomi nasional yang mengutamakan sistem kapitalis perdagangan bebas, melakukan ekspansi pasar, program privatisasi/penjualan asset BUMN, deregulasi dan menghilangkan campur tangan pemerintah, pengurangan peran negara dalam layanan sosial (public service) seperti liberalisasi pendidikan (UU BHP), kesehatan, dan sebagainya.
Dengan begitu dapat dipahami bila Indonesia mengadopsi sistim ekonomi neoliberalisme, dapat dipastikan negara hanya bertindak sebagai “regulator” dan memberikan stimulus sebagai dewa penyelamat bagi perusahaan swasta yang bangkrut atau diambang kebangkrutan. Misalnya, pemerintah AS harus mengeluarkan stimulus sebesar US$ 800 miliar atau sekitar Rp 9.600 triliun sementara Indonesia pada krisis monter 1998 mengeluarkan dana KLBI sebesar Rp 144 triliun dan BLBI senilai Rp 600 triliun, melebihi anggaran APBN saat itu. Akibatnya, seluruh rakyat Indonesia harus menanggu utang sekaligus menutup subsidi pembayaran bunga melalui APBN. Sangat ironis memang.
Menghadapi pilpres pada 8 Juli mendatang, rakyat harus benar-benar cerdas memilih pemimpin yang bisa diharapkan melakukan perubahan bagi bangsa lima tahun kedepan. Jika tidak, bukan tidak mungkin kita akan mundur kembali atau setback lima tahun kebelakang dan Indonesia tidak akan pernah menjadi bangsa besar yang dihargai dunia internasional, kecuali tetap menjadi berhala-berhala sekaligus antek imperialisme dan kapitalisme. Mudah-mudahan saja tidak. ****